From marxist to gramsci

OK, yang mengaku anak punk sejati, tahukah anda, siapa Adolph dan Thelma?

Saya agak terlambat memperoleh piringan hitam yang pertama kali saya dengar waktu SMP dalam kaset pinjaman yang kumal, album mahakarya Sex Pistols, Never Mind the Bollocks, yang sudah diulas Philips di blog sontoloyo berburuvinyl beberapa waktu lalu (klik di sini). Tapi kali ini saya ingin membahas Pistols dari sudut pandang lain: latar belakang sejarah bagaimana punk muncul.

Cara terbaik untuk menjawab pertanyaan seserius ini tentu dengan riset dan metodologi ilimaih yang memadai. Tapi kadang-kadang saya capek juga dengan metodologi yang ketat dan disiplin ini. Sesekali perlu juga melakukan spekulasi dengan ringan untuk senang-senang, tanpa pertanggungjawaban ilmiah yang berat, dan tanpa pretensi untuk mengubah sesuatu. Lagipula bukankah ini sekedar tulisan di sebuah media online semprul?
Karena namanya saja main-main, sumber informasi saya pun cuma satu: The Punk, novel pendek yang ditulis Gideon Sams, kitab suci kaum punk yang dicetak secara indie dan terbatas tahun 1977. Sams menulis novel ini saat berusia 14 tahun. Mati umur 26, ia, bersama Jim Morrison, Kurt Cobain, dan Soe Hok Gie, seakan kembali menegaskan bahwa hidup dengan H besar mungkin berakhir maksimal umur 27. Selebihnya, menyitir Chairil Anwar, hanya menunda kekalahan.

The Punk ditulis pada pertengahan 70 an, di London. Masa itu Inggris, dan negara-negara maju lainnya, setelah periode emas tahun 60 an, mengalami stagflasi. Lazimnya ada hubungan sejajar antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dengan tingkat harga. Tapi kali ini ekonomi mandek, harga-harga naik. Pemerintah tak lagi sakti mempengaruhi besaran-besaran ekonomi makro.


Tokoh kita, Adolph anak punk, adalah bagian generasi yang sialnya masuk usia kerja pada tahun-tahun suram ini. Ia dan kawan-kawannya  berada dalam situasi berbeda 180 derajat dengan generasi 60 an, -- generasi si Ned anggota The Teds, yang lebih berduit dan mampu bergaya dengan setelan Seville Row yang necis.  Anak tunggal ini tinggal di apartemen butut berarsitektur membosankan di pinggiran London,  gambaran demografi walaupun sebenarnya tidak ada ledakan angkatan kerja, kue ekonomi memang tidak ada, dan pemerintah tak becus mengurus perumahan publik.

Adolph hanya punya alternatif dua pekerjaan: menempelkan label di kemasan kaleng kacang polong di Tesco, jaringan pasar swalayan di Inggris yang bergaji kecil, atau asisten di tukang ikan yang bergaji sedikit lebih besar. Keduanya jelas bukan pekerjaan mentereng yang menjanjikan jet pribadi atau liburan di California. Ia memilih membantu tukang ikan.

Dalam situasi buram semacam ini ia melarikan diri ke The Damn, The Clash, dan Sex Pistols.

Dibesarkan di Inggris, masyarakat yang sangat sadar kelas, dunia menurutnya terbagi tiga berdasarkan jenis pengunjung yang mendatangi klub favoritnya, The Roxy, di kawasan Covent Garden, untuk menonton konser ulangtahun Sex Pistols. Pertama, orang-orang yang mengantri lama karena belum membeli tiket. Kedua, orang-orang yang mengantri sebentar karena sudah membeli tiket. Dan ketiga, orang-orang yang tidak mengantri karena sudah kondang alias selebritis. Atau dalam dalam bahasa politik: kelas proletar, kelas kapitalis, dan kelas sok proletar sosialis. Adolf menganggap dirinya bagian kelas yang pertama dan amat membenci yang ketiga.

Slavoj Zizek, filsuf post-Marxist, menyebut kelas ketiga ini liberal communist. Adolph, anak punk yang tentu saja bukan filsuf, menganggap mereka si munafik yang mengaku melawan sistem dan kapitalisme, tapi ujungnya menjadi kaya karenanya. Contohnya The Who, The Led Zeppelin, dan  The Rolling Stones.

Tapi Adolph tak sepenuhnya membenci kapitalisme. Ia bukan bloody commie (baca: si komunis sialan) seperti tuduhan seorang tua patriotik berjas hitam dihiasi banyak medali yang berpapasan dengannya di jalan. Ia dengan ganjil bahkan memilih Hard Rock Cafe sebagai tempat kencan dan makan siang dengan Thelma, sang pacar. Tempat yang  menghabiskan gajinya dan, menurutnya, makanannya tak enak. Hard Rock Cafe, kurang kapitalis apa tempat ini?

Dari kisah kasih (maafkan bahasanya) Adolph dan Thelma, kita tahu punk tak selamanya menjadi musik dan ideologi si miskin asisten tukang ikan. Pada perkembangannya, punk mulai diterima di kelas atasnya. Mula-mula oleh orang-orang semacam keluarga Thelma yang terpelajar dan tinggal di Pentonville Road, daerah yang, waktu itu, tertib. Seperti kata Thelma, si pemakai sepatu kets mahal merah jambu dengan garis kuning, ia merasa bosan dengan kemakmuran dan, barangkali, sikap (sok) intelektualitas publik tahun 60 an.  Tadinya pacar si Ned, Thelma memutuskan menjadi punk bersama Adolph.

Dalam cerita, Adolph membunuh Ned yang gusar ditinggalkan Thelma. Akibatnya, mereka digebuki bekas anak buah Ned di The Teds. Thelma, yang memeluk Adolph yang luka parah,  di ujung cerita, ditusuk seorang anggota perempuan The Teds. Tak jelas apakah keduanya mati, sebab cerita berakhir di sini, dan saya merasa teringat sesuatu.

Ya, betul, Romeo and Juliet versi punk.

Demikianlah sekelumit analisa sosiologis yang jauh dari ilmiah tentang punk. Tentu harus dibuktikan secara empiris, apakah teori jadi-jadian ini benar adanya. Misalnya, apakah pola yang sama terjadi pada komunitas punk di, katakanlah, Ujungberung.

Lalu apa peran album Never Mind the Bollocks? Ya tidak ada. Cuma Sex Pistols berkali-kali disebut dalam novel itu. Seperti dikisahkan Sams, Johnny Rotten, sewaktu naik ke panggung dan mengenali Mick Jagger dan rombongan pesohor lainnya di balkon The Roxy, berseru kepada mereka, “Wots this. Old farts gathering day?”

0 komentar:

Posting Komentar